Membaca kitab suci Al-Qur’an
dengan suara merdu dan berirama yang dalam istilah lainnya juga dikenal dengan
taghanni atau tilawah bukanlah hal yang baru dalam sejarah Islam saat ini. Pada
zaman Rasulullah SAW, kegiatan semacam itu sudah dahulu dilakukan. Bahkan,
dalam sebuah riwayat disebutkan, Allah SWT menyukai orang- orang yang
membaguskan suaranya ketika membaca Alquran.
"Tidaklah Allah mendengarkan sesuatu sebagaimana Dia
mendengarkan Nabi-Nya membaguskan bacaan Alquran dan mengeraskan
suaranya." (HR Bukhari 7544, Muslim 792). Riwayat lain menyebutkan,
"Bukan golongan kami, orang yang tidak taghanni dalam membaca
Alquran." (HR Bukhari 350).
Terdapat dalam kamus bahasa Arab, kata taghanni berarti
bernyanyi dengan suara merdu. Istilah
tersebut dapat pula dimaknai dengan mengeraskan dan membaguskan suara bacaan
Alquran secara khusyuk dan tenang.
Meskipun kata taghanni kerap diartikan den dangan membaguskan
suara bacaan Alquran, namun beberapa kalangan ulama berbeda pendapat dalam
mejelaskan arti kata tersebut.ada yang mengatakan, taghanni sama maknanya
dengan tartil yang berarti membaca Alquran secara perlahan dan tanpa
tergesa-gesa.
Sebagian ulama lainnya berpendapat, taghanni tidak sekadar
diartikan membaca Alquran secara tartil, tetapi juga dengan mengamati aturan
tajwid dan mempercantik suara bacaan Al Qur’an. Sementara, ada pula ulama yang
menyatakan bahwa taghanni berarti membaca Alquran dengan hati yang senang.
"Kendati berbeda pendapat mengenai arti kata taghanni,
namun semua ulama sepakat bahwa membaca Alquran dengan suara yang indah
merupakan amalan yang dianjurkan," ujar pakar Islam asal Turki, Mehmet
Paksu, dalam ulasannya, Reciting the Qoran with Taghanni.
Imam Nawawi mengatakan bahwa semua ulama sepakat bahwa
memperindah suara saat membaca Al-Qur'an diperbolehkan dalam batas-batas
tertentu. Jika batasan ini dilanggar (misalnya mengabaikan tajwid, menambah
atau mengurangi huruf), membaca menjadi haram.
Kapan penerapan irama dan lagu
dalam bacaan Alquran mulai dilakukan, tidak diketahui secara pasti. Akan
tetapi, sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali menyenandungkan Alquran
dengan irama yang indah adalah Rasulullah SAW sendiri. Abdullah bin Mughaffal
pernah mengilustrsikan kemerduan suara Nabi ketika melantunkan surah al-Fath
mampu membuat unta yang beliau tunggangi menjadi terperanjat.
Ketika Rasulullah SAW masih hidup pun, banyak qari atau pembaca
Alquran yang mahir di bidangnya. Di antaranya adalah Abdullah ibnu Mas'ud RA
dan Abu Musa al-Asy'ari RA. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, Rasulullah SAW
pernah lewat ketika Abu Musa sedang membaca Alquran. Nabi pun berhenti untuk
mendengarkan bacaan sahabatnya itu. Beliau lalu bersabda, "Sungguh ia (Abu
Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi
Daud." (HR Bukhari 5048, Muslim 793).
Beberapa waktu setelah itu, ketika Abu Musa datang kepada
Rasulullah, Nabi pun mengabarkan kepadanya bahwa beliau telah men dengarkan
bagusnya bacaan Abu Musa. Abu Musa lalu berkata, "Andai aku tahu engkau
sedang mendengarkannya, tentu aku akan benar-benar memperindah bacaanku."
Rasulullah SAW tidak mengingkari pernyataan sahabatnya tersebut.
Ini menunjukkan bahwa memperindah bacaan Alquran adalah hal yang dianjurkan
supaya dapat menghasilkan kekhusyukan bagi pembaca dan pendengarnya.
Pengaruh
M Husni Thamrin dalam tesisnya, Nagham Alquran: Telaah atas
Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia, menuturkan, kesenian masyarakat
Arab pra-Islam memiliki pengaruh yang kuat dalam seni tilawah Alquran. Seni
suara yang dalam tradisi Arab disebut handasah al-shaut diadopsi dalam bacaan
Alquran secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.
Sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, orang-orang Arab sudah mengenal
kesenian musik dan syair (sastra) yang diwarisi dari nenek moyang
mereka. Tradisi tersebut terus berlanjut ketika Rasulullah menyampaikan
misi risalahnya di tengah-tengah masyarakat Arab.
Mereka yang jatuh cinta kepada Islam lalu mengaplikasikan
handasah al-shaut dalam bacaan Alquran. Dengan kata lain, dalam konteks ini
telah terjadi Islamisasi terhadap seni suara yang dipraktikkan oleh orang-orang
Arab sejak era pra-Islam. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal perkembangan
nagham-nagham (lagu) Alquran pada era selanjutnya.
"Syair-syair Arab yang pada awalnya berisi tentang kisah
kehidupan, berganti menjadi syair pujian dan shalawat, yang pada akhirnya
menempatkan Alquran berada di lapisan teratas dalam piramida tradisi handasah
al-shaut pada masa Islam," ungkap M Husni Thamrin dalam tesisnya, Nagham
Alquran: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia.
Transformasi
Penerapan nagham sebagai unsur estetika dalam bacaan Alquran
sudah tumbuh sejak periode awal Islam. Kendati demikian, sulit untuk melacak
seperti apa proses perkembangan nagham tersebut hingga memunculkan berbagai
bentuk variannya seperti yang kita dapati hari ini. Hal itu disebabkan tidak
adanya bukti yang dapat dikaji.
Ibnu Manzur, seperti dinukilkan oleh Dr Basyar Awad Ma'ruf,
al-Bayan fi Hukm at-Taghanni bi Alquran, ada dua teori tentang asal mula
munculnya nagham Alquran. Pertama, nagham Alquran berasal dari nyanyian nenek
moyang bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir
yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu
Alquran pada mulanya memang berasal dari khazanah tradisional Arab.
Tidak ada catatan sejarah yang menjelaskan perkembangan nagham
Alquran setelah era tabi'in. Namun, kalangan akademisi Islam meyakini bahwa,
transformasi seni baca Alquran berlangsung secara sederhana dan diwariskan
turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
"Beberapa metode yang digunakan dalam mewariskan ilmu
nagham Alquran dari masa ke masa adalah sima'i (mendengar), talaqqi (menerima
dan mengambil pelajaran lewat bimbingan seorang guru), dan musyahafah,"
ungkap Ketua Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jawa Timur Abdul Hamid
Abdulloh, dalam karya tulis Makna dan Tujuan MTQ.
Hari ini, para qari di dunia sudah tidak asing lagi dengan
"delapan maqamat quraniyyah" atau juga biasa dikenal dengan
"delapan nagham Alquran".
Kedelapan varian nagham tersebut ialah Bayyati (Husaini), Sika,
Shoba (Maya), Rasta alan nawa, Hijazi (Hijaz), Jiharkah, Nahawand (Iraqi), dan
Banjaka (Rakbi).
"Hampir setiap qari di seluruh dunia selalu menggunakan
satu dari de lapan nagham tersebut ketika membaca Alquran," tutur pengamat
seni Alquran yang kini berdomisili di Qatar, Mochamad Ihsan Ufiq, dalam artikel
"Nama-Nama Lagu/Irama Seni Tilawatil Quran".
Bila ditelusuri dari definisinya, ilmu nagham berbeda dengan
ilmu qiraah. Jika ilmu nagham dikhususkan un tuk mempelajari seni irama dan
lagu-lagu Alquran maka ilmu qiraah lebih difokuskan kepada cara membaca Al quran
dengan benar dan tepat. Meski ber beda definisi, dalam praktiknya, ilmu nagham
tidak boleh menyalahi ilmu qiraah.
Ulama Muslim kontemporer, Muhammad Musthafa al-A'zami, memandang
bahwa antara teks Alquran, proses pembacaannya, serta pewahyuannya adalah satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Menurutnya, ilmu qiraah yang benar
diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, yakni suatu praktik (sunah) yang
menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Aspek ini juga berkaitan erat dengan
kewahyuan Alquran.
"Oleh karena itu, antara teks dan cara pengucapan Alquran
haram untuk bercerai," tulis al-A'zami dalam buku The History of The
Quranic Text From Revelation to The Compilation: A Comparative Studi with The
Old and New Testaments.
Hingga abad ke-20, Mesir telah menjadi inspirasi dan merupakan
pusat lahir dan berkembangnya budaya maqamat Alquran yang penuh harmoni.Di
samping itu, negeri piramida itu juga menempatkan dirinya sebagai saringan yang
memisahkan antara musik dan qiraah maqamat nagham Alquran.
"Qari-qari yang lahir di Mesir, seperti Syekh Muhammad
Rif'at (1882- 1950), Syekh Mustafa Ismail (1905-1978), dan Syekh Abdul Basit
Abdul-Samad (1927-1988) mampu menunjukkan kepada dunia bahwa nagham adalah
nyawa dari bacaan Alquran " ungkap M Husni Thamrin dalam tesisnya, Nagham
Alquran: Telaah atas Kemunculan dan Perkembangannya di Indonesia. Oleh
Ahmad Islamy Jamil ed: Nashih
Nashrullah
Ragam-Ragam Nagham Alquran
Oleh Ahmad Islamy Jamil
Seni baca Alquran baru menampakkan geliatnya pada awal abad
ke-20 yang berpusat di Makkah dan Madinah, serta di Indonesia sebagai negeri
berpenduduk mayoritas Muslim yang sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu agama
(termasuk nagham) sejak awal 19 M.
Hingga hari ini, Makkah dan Mesir merupakan kiblat nagham dunia.
Masing-masing kiblat memiliki karakteristik tersendiri. Dalam tradisi Makkawi
(Makkah)
dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Maya, Rakby, Jiharkah, Sika, dan
Dukkah.Sementara, dalam tradisi Misri (Mesir) terdapat Bayyati, Hijaz, Shobah,
Rashd, Jiharkah, Sika, dan Nahawand.
1. Bayyati
Setiap bentuk susunan lagu tilawah Alquran, terutama yang
bersifat formal, selalu diawali dan diakhiri dengan irama Bayyati. Lagu Bayyati
penutup terdiri dari dua bentuk dan dua tingkatan suara, yaitu Jawab dan
Jawabul Jawab.
2. Shobah (Maya)
Lagu Shobah terdiri dari lima bentuk dengan tiga variasi, yaitu
Ajami, Mahur, dan Bastanjar. Sementara, untuk tingkatan suaranya ada dua, yakni
Jawab dan Jawabul Jawab.
3. Hijazi (Hijaz)
Lagu ini terdiri dari tujuh bentuk dan empat variasi, yaitu
Kard, Kard- Kurd, Naqrisy, dan Kurd. Sementara, bentuk tingkatan suaranya ada
tiga, yakni Jawab, Jawabul Jawab, dan Qarar.
4. Nahawand (Iraqi)
Lagu Nahawand terdiri dari lima bentuk dan dua selingan, yaitu
Nuqrasy dan Murakkab. Ciri-ciri variasi Nuqrasy adalah bernada rendah (turun)
sedangkan variasi Murakkab bernada tinggi (naik).Adapun tingkat suara Nahawand
ada dua, yakni Jawab dan Jawabul Jawab.
5. Sika
Lagu Sika terdiri dari enam bentuk dan empat variasi, yaitu
Misri, Turki, Raml, dan Uraq. Sementara, tingkatan suaranya ada tiga, yakni
Qarar, Jawab, dan Jawabul Jawab.
6. Rast dan Rasta 'alan Nawa
Lagu Rast dan Rasta 'alan Nawa selalu berhubungan satu sama
lainnya. Jika bacaan dimulai dengan lagu Rast maka mesti dilanjutkan
(disambung) dengan Rasta 'alan Nawa. Jenis lagu ini terdiri dari tujuh bentuk
dan tiga variasi, yaitu Usyaq, Zanjiran, dan Syabir 'ala ar- Ras. Sementara,
tingkat suaranya ada dua, yakni Jawab dan Jawabul Jawab.
7. Jiharkah
Lagu Jiharkah terdiri dari empat bentuk dan satu variasi, yaitu
Kurdi.Sementara, tingkatan suaranya ada dua, yaitu Jawab dan Jawabul Jawab.
8. Banjaka
Lagu Banjaka/Rakbi dikhususkan untuk lagu-lagu dalam bacaan tartil Alquran dan nyanyian Qasidah saja.Lagu jenis ini jarang sekali (dan bahkan hampir tidak pernah sama sekali) dipakai dalam bacaan tilawah Alquran. Kemungkinan besar karena lagu tersebut kurang begitu cocok diterapkan dalam tilawah. dari berbagai sumber,
ed: Nashih Nashrullah